Rengganis Altitude 3088, Novel Tentang Pendakian
Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur. Pandangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa.
Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilangsungkan?
Hingga pagi datang, anak muda itu tak pernah kembali lagi ke tenda... (Hal: 6)
Paragraf
di atas merupakan prolog sekaligus sinopsis yang disajikan dalam novel
Rengganis Altitude 3088. Ditulis dan ditempatkan dengan apik sehingga
berhasil membuat pembaca penasaran sekaligus ingin segera menuntaskan
bacaannya untuk menjawab misteri di dalamnya.
Rengganis merupakan nama salah satu puncak di pegunungan Argopuro. Nama tersebut diambil dari nama Dewi Rengganis, yang merupakan salah satu selir dari raja Majapahit. Konon, Dewi Rengganis hilang beserta keenam dayangnya di danau Hidup. Sedangkan angka 3088 merupakan ketinggian gunung Argopuro, yang menjadi latar novel ini.
Novel
yang ditulis oleh Azzura Dayana ini berisi tentang perjalanan delapan
orang pendaki menyusuri pegunungan Argopuro yang terletak di
Probolinggo, Jawa Timur, yang merupakan pegunungan dengan trek
terpanjang di pulau Jawa. Uniknya, penulis mengangkat setting gunung
yang tidak terlalu populer bila dibandingkan dengan dua gunung yang
menghimpit Argopuro, yaitu Gunung Semeru dan Gunung Raung. Hal tersebut
sekaligus menjadi upaya penulis untuk mengangkat nama Argopuro yang
selama ini memang kurang terkenal, terlebih di kalangan masyarakat yang
tidak mencintai kegiatan pendakian.
Ialah
Dewo, Fathur, Rafli, Dimas, Acil, Ajeng, Nisa, dan Sonia, delapan orang
pendaki yang menjadi tokoh dalam novel ini. Catatan penting dari novel
Rengganis adalah tidak adanya tokoh utama yang lebih ditonjolkan oleh
penulis. Dari kedelapan tokoh, semuanya memiliki porsi yang sama dalam
kisah pendakian tersebut. Penulis memosisikan diri secara netral dalam
mengelola tokoh-tokoh di dalam novel ini, namun di sisi lain menimbulkan
kesan penokohannya kurang kuat.
Runtutan
pendakian dituliskan secara jelas, nama tempat dan kondisi alam maupun
treknya pun dideskripsikan dengan cukup baik, sehingga pembaca digiring
untuk merasakan alur pendakian yang dialami oleh kedelapan
tokoh-tokohnya. Sabana Cikasur, Rawa Embik, Sabana Lonceng, puncak
Rengganis, sungai Cisentor, danau Hidup, dan puncak utama Argopuro
merupakan tempat-tempat yang Dewo dan kawan-kawannya lalui. Bagi yang
pernah mendaki Argopuro, novel ini bisa menjadi media nostalgia
pendakian atau bisa sebagai gambaran bagi yang belum pernah ke sana.
“Seolah-olah kita ini sedang berada di antara beberapa mangkuk hijau yang disusun terbalik dan saling didekatkan. Dan sekarang kita sedang berdiri di lereng yang tinggi di salah satu mangkuk, memandangi lereng-lereng tinggi mangkuk-mangkuk lain.” (Hal: 26)
Novel ini memiliki dua ketertarikan sekaligus, yang pertama adalah tentang pendakian dan yang kedua yaitu tentang sejarah. Seandainya penulis bisa lebih bersabar untuk mempertebal novel ini, terutama dalam konteks sejarah maupun mitos tentang Dewi Rengganis, maka bisa menarik dua minat golongan pembaca tersebut.
Adapun
konflik dalam novel ini adalah ketika Dewo terperosok ke dalam jurang
namun Rafli menunjukkan sikap yang kurang baik. Hingga akhirnya Rafli
dinyatakan hilang pagi-pagi saat mereka berkemah di dekat danau Hidup.
Novel ini terasa menegangkan ketika mencapai halaman-halaman
terakhirnya.
“Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but ego,” Fathur mengumandangkan slogan pendaki sambil mengacungkan sebelah tangannya dan bergegas melakukan operasi semut. Membersihkan semua sampah yang ada.
“Bukannya kill nothing but time?” Nisa mencoba meralat.
“Kuimprovisasi aja, Nis. Kayaknya lebih bagusan membunuh ego daripada membunuh waktu. Hehe..” (Hal: 208).
Pelajaran-pelajaran berharga tentang pendakian diselipkan dengan cantik di dalam novel ini. Bagaimana mereka melakukan survival, cara memperlakukan alam, kesetiakawanan, cara mengendalikan diri dan mengolah ego bagi. Poin-poin tersebut menjadikan novel ini layak dibaca bagi para pendaki atau calon pendaki.
***
0 komentar